Sabtu, November 08, 2008

Definisi Karate

Karate berasal dari pengucapan dalam bahasa Okinawa “kara” yang berarti Cina dan “te” yang berarti tangan. Selanjutnya arti dari dua pengucapan itu adalah tangan Cina, teknik Cina, tinju Cina. Selanjutnya sekitar tahun 1931 Gichin Funakoshi – dikenal sebagai Bapak Karate Moderen – mengubah istilah karate ke dalam huruf kanji Jepang yang terdengar lebih baik.

Tahun 1936 buku Karate-do Kyohan diterbitkan Funakoshi telah menggunakan istilah karate dalam huruf kanji Jepang. Dalam pertemuan bersama para master di Okinawa makna yang sama diambil. Dan sejak saat itu istilah “karate” dengan huruf kanji berbeda namun pengucapan dan makna yang sama digunakan sampai sekarang.

Saat ini istilah karate berasal dari dua kata dalam huruf kanji “kara” yang bermakna kosong dan “te” yang berarti tangan. Karate berarti sebuah seni bela diri yang memungkinkan seseorang mempertahankan diri tanpa senjata.

Menurut Gichin Funakoshi karate mempunyai banyak arti yang lebih condong kepada hal yang bersifat filsafat. Istilah “kara” dalam karate bisa pula disamakan seperti cermin bersih yang tanpa cela yang mampu menampilkan bayangan benda yang dipantulkannya sebagaimana aslinya. Ini berarti orang yang belajar karate harus membersihkan dirinya dari keinginan dan pikiran jahat.

Selanjutnya Gichin Funakoshi menjelaskan makna kata “kara” pada karate mengarah kepada sifat kejujuran, rendah hati dari seseorang. Walaupun demikian sifat kesatria tetap tertanam dalam kerendahan hatinya, demi keadilan berani maju sekalipun berjuta lawan tengah menunggu.
Demikianlah makna yang terkandung dalam karate. Karena itulah seseorang yang belajar karate sepantasnya tidak hanya memperhatikan sisi teknik dan fisik, melainkan juga memperhatikan sisi mental yang sama pentingnya. Seiring usia yang terus bertambah, kondisi fisik akan terus menurun. Namun kondisi mental seorang karateka yang diperoleh lewat latihan yang lama akan membentuk kesempurnaan karakter. Akhiran kata “Do” pada karate-do memiliki makna jalan atau arah. Suatu filosofi yang diadopsi tidak hanya oleh karate tapi kebanyakan seni bela diri Jepang dewasa ini (Kendo, Judo, Kyudo, Aikido, dll)
Sumber : http://www.fokushotokan.com/definisi.html

Sabtu, November 01, 2008

Mempersiapkan Karate di PON 2012

Sabtu, 01 November 2008
Karate Riau sangat sulit untuk dapat menunjukkan prestasinya, karena hanya sarana latihan serta dukungan finansial yang cukup bagus akan tetapi sumber daya manusianya masih kurang. Hal ini dapat kita buktikan bahwa sampai saat ini kepengurusan Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI) Provinsi Riau belum solid dan belum dapat berprestasi di tingkat nasional.

Keadaan ini dapat diperkuat dengan beberapa alasan antara lain pasca-Musprov Forki Riau pada Desember 2006 yang lalu sampai saat ini, telah lebih dua tahun, kepengurusan yang terbentuk belum juga dilantik/dikukuhkan oleh PB Forki, sehingga roda organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya karena dijalankan oleh segelintir orang yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi, tapi tak dapat bertanggung jawab terhadap peningkatan prestasi. Pekerjaan yang dikerjakan tidak lagi sesuai dengan porsinya, sehingga mencerminkan bahwa organisasi tidak lagi dikelola profesional.

Contoh yang lebih konkret, pada saat pra kualifikasi PON Kaltim, karateka Riau secara nyata tidak ada yang lolos, meski sudah dilatih pelatih nasional asal Sumbar, dan dibantu oleh asisten pelatih lokal. Ironisnya Sumbar bisa merekrut pelatih yang lebih bagus dari Riau, alhasil mampu meloloskan sebanyak delapan orang atletnya untuk dapat bertarung di ajang PON Kaltim.

Berikutnya kemampuan atlet karate Riau kembali diuji pada saat Mendagri Cup di Palembang, karateka Riau ditangani pelatih lokal yang notabenenya adalah asisten pelatih ketika mengikuti pra-PON, hasilnya juga gagal dan tidak satu kepingpun medali dapat dibawa pulang untuk Bumi Lancang Kuning. Meskipun akhirnya Riau juga mengikutsertakan satu orang atlet cabang karate pada PON Kaltim 2008 yang lalu, hal itu merupakan hadiah PB FORKI yang dikenal dengan istilah Wildeard.

Sebagai insan karate kita melihat Provinsi Riau memiliki ratusan bahkan ribuan orang karateka yang berbakat dan tersebar di beberapa daerah bukan hanya di Pekanbaru saja. Akan tetapi mereka perlu mendapat sentuhandan polesan dari pelatih yang benar-benar memiliki kompetensi serta mempunyai kualitas atau bahkan juga memiliki sertifikasi yang jelas, sehingga kemampuannya dalam menstransfer ilmu dapat terukur dan hasil yang ia capai dapat pula dipertanggungjawabkan, apabila ia gagal dan tidak mampu mencapai target yang telah disepakati bisa saja kita istirahatkan atau bahkan kita ganti dengan pelatih yang lainnya.

Kita tidak mengecilkan arti dari pelatih lokal yang ada, mungkin mereka memang mantan atlet, namun kemampuannya dalam menstransfer ilmu dan keterampilan yang ia miliki perlu kita pertanyakan karena selama ini hasil yang telah dicapai jangankan anak asuhnya mampu melebihi prestasi yang pernah ia capai, namun untukmencapai hasil sama saja, anak asuhnya tidak mampu. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa seorang mantan atlet yang hebat belum tentu mampu menghasilkan anak asuh (atlet) yang hebat pula tanpa didukung ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang olahraga (Iptkor). Pada cabang olahraga karate banyak orang yang bisa menjadi pelatih tetapi tidak banyak orang yang mampu melatih sesuai dengan asas dan prinsip latihan.

Menyikapi persoalan di atas, sebagai insan karate yang sangat merindukan bahwa atlet karate Riau mampu meraih prestasi di ajang bergengsi sekaliber PON serta mengharumkan nama Bumi Lancang Kuning, sehingga cabang olahraga karate juga mendapat kesempatan menjadi cabang olahraga yang diunggulkan untuk dapat memperbanyak perolehan medali emas saat Riau menjadi tuan rumah PON 2012 nantinya.

Untuk itu tidak ada jalan lain seperti ungkapan yang telah diutarakan ketua harian KONI Riau ketika pelaksanaan Musprov PSTI Riau bahwa KONI akan melakukan pemantauan terhadap kepengurusan yang telah terbentuk selama satu tahun pertama, apabila tidak dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik maka bisa saja dilakukan Musprovlub. Begitu juga untuk cabang olahraga lainnya.

Sepertinya apa yang dikatakan ketua harian KONI tersebut sangat tepat untuk dijadikan sebagai dasar agar FORKI Riau segera melakukan Musprovlub. Sehingga orang-orang yang ditunjuk untuk mengisi susunan kepengurusan betul-betul orang yang memiliki kompetensi serta mampu mengerjakan pekerjaan yang diembankan kepadanya dan diberi kepercayaan penuh untuk merancang dan melaksanakan program yang dapat memacu peningkatan prestasi karate di Riau ini. Tiap-tiap pengurus harus bekerja sesuai dengan tugasnya dan tidak ada pekerjaan yang tumpang tindih atau sebaliknya one man show. Kemudian pengurus yang ada harus menghargai konsep sistem, sehingga tidak seenaknya mengambil keputusan tanpa dasar yang kuat dan jelas, meskipun bukan merupakan kewenangan yang bersangkutan.

Terlepas dari persoalan di atas masih ada hal yang sangat mengkhawatirkan segenap insan karate di Riau di mana saat ini tidak jelas siapa penentu kebijakan di FORKI Riau sehingga tidak jelas pula kemana arah dan sasaran pembinaan prestasi cabang olahraga karate yang dilakukan oleh FORKI Riau, hal ini telah berlangsung sejak periode kepengurusan FORKI sebelumnya, sehingga kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya mengejar keuntungan pribadi tanpa peduli dengan peningkatan prestasi yang seharusnya dipertanggungjawabkan kepada KONI Riau.

Melalui wacana ini kita mengimbau segenap pengurus karate yang selama ini telah menunjukkan eksistensinya terhadap kemajuan karate di Riau, serta pengurus FORKI yang se-Riau untuk mendesak agar Forki Riau segera menggelar Musprov, dan kita berharap nantinya KONI Riau juga berkenan memfasilitasi serta merekomendasikan atau bahkan menginstruksikan agar FORKI Riau segera melaksanakan Musprovlub, sehingga terbentuknya susunan kepengurusan yang solid sebagai langkah awal menyongsong Riau tuan rumah PON 2012.***
Drs Syaiful Bahri,
Ketua Keluarga Sabuk Hitam (KSH) INKADO Riau